Gerhana
Mata
Malam selalu
memberi ketenangan. Banyak kenangan yang begitu mudah dikais dalam ruang-ruang
kegelapan. Kenangan yang memang hanya layak mendekam dalam gelap itu seolah
mengacung-ngacungkan telunjuknya meminta waktu untuk diingat setiap kali malam
bergulir, di atas pembaringan tanpa kekasih yang tak akan hadir.
Banyak orang yang begitu takut pada malam. Pada gelap. Pada
sesuatu yang membuat mata kita seolah buta dan mau tak mau harus meraba-raba.
Membuat jantung mereka berdegup lebih kencang. Membuat mereka tak tenang.
Membuat mereka rela menukar ketidak-tenangan itu dengan harga listrik walaupun
harganya semakin tinggi menjulang.
Tapi saya selalu merasa malam memberi ketenangan. Semakin gelap
semakin ramai. Hampir menyerupai pasar malam yang ingar bingar namun tanpa
penerangan. Sehingga saya tak pernah merasa ketakutan. Tak pernah merasa tak
tenang. Sepanjang mata memandang, hanyalah kegelapan. Tubuh kelihatan amat
samar. Namun, suara-suara begitu jelas terdengar. Begitu dekat. Sedemikian
dekat sehingga aroma napas si empunya suara itu di hidung terasa melekat. Mata
saya mulai merapat, semakin gelap, semakin semuanya akhirnya begitu terang
terlihat.
Mungkin karena itulah saya begitu membutuhkan cinta. Seperti
malam. Seperti gelap. Cinta pun membutakan. Saya tidak butuh kacamata matahari
demi mendapatkan gelap di kala siang menyala. Saya tidak perlu menutup semua
tirai dan pintu serta menyumbat sela-sela terbuka yang membiarkan cahaya
menerobos masuk supaya kegelapan yang saya inginkan sempurna. Saya hanya perlu
mencinta dan dengan seketika butalah mata saya.
Saya menamakan kebutaan itu gerhana mata. Orang-orang
menamakannya cinta buta. Apa pun namanya saya tidak peduli. Saya hanya ingin
mendengar apa yang ingin saya dengar. Saya hanya ingin melihat apa yang ingin
saya lihat. Dan hanya ialah yang saya ingin lihat, sang kekasih bak lentera
benderang dalam kegulitaan pandangan mata saya. Dari sinarnyalah saya
mendapatkan siang yang kami habiskan di ranjang-ranjang pondok penginapan.
Saling menatap seakan hanya siang itu hari terakhir kami bisa saling
bertatapan. Saling menyentuh seakan hanya siang itu hari terakhir kami bisa
saling bersentuhan. Dan melenguh seakan hanya siang itu hari terakhir kami bisa
saling mengeluarkan lenguhan.
Di saat-saat seperti itu, di kebutaan seperti itu, saya tak
perlu meraba-raba. Tak pernah ada waktu untuk berpikir apa yang akan terjadi di
hari esok. Apakah benar masih ada hari esok. Atau apakah masih perlu akan hari
esok. Walaupun tidak jarang kebutaan yang memabukkan itu terganggu oleh
suara-suara dari luar dunia, seperti suara-suara ponsel yang berdering tak
henti-hentinya, namun dengan seketika gerhana mata bekerja. Suara-suara ponsel
yang mengganggu itu berubah menjadi suara lagu. Lembut mendayu-dayu. Tak saya
sadari lagi ketika tubuhnya pelan-pelan memisah dan menjauh. Tak terdengar
suaranya yang sengaja dibuat lirih ketika menjawab panggilan
telepon dan mengatakan kalau ia sedang tidak ingin diganggu dengan alasan
penyakit lambungnya tengah kambuh. Saya tetap merasakan tubuhnya melekat. Saya
tetap mendengar suaranya melantunkan senandung yang membuat saya merasa itulah
saat terindah untuk sekarat. Saya masih melihat matanya sedang menatap. Mata
yang seperti mengatakan bahwa tidak ada siapa pun di dunia ini yang berarti
kecuali saya. Tidak ada apa pun di dunia ini yang lebih penting dari saya. Mata
saya pun semakin buta. Dicengkeram gerhana. Semakin kabur. Semakin dalam ke
muara cinta tubuh ini tercebur.
Kami hanya bertemu kala siang. Kala api rindu sudah semalaman
memanggang. Kala segala garis maupun lekukan amat nyata terlihat dengan mata
telanjang. Segala garis maupun lekukan itu selalu diikuti bayang-bayang. Dan
dalam bayang-bayang itulah kami betemu dan bersatu. Di sanalah kami saling
menjamu keinginan antara satu dengan yang satu.
Banyak yang
mempertanyakan. Kenapa saya bertemu hanya kala siang? Kenapa tidak pagi atau
malam? Karena buta, saya bilang. Dalam kebutaan saya bisa mengadakan apa pun
yang saya inginkan. Tak terkecuali pagi. Tak terkecuali malam.
Banyak yang tambah mempertanyakan. Kenapa harus buta? Kenapa
tidak menggunakan mata asli demi melihat pagi asli atau malam asli. Kenapa
harus menciptakan buta yang tak asli? Karena cinta, saya bilang. Dalam cinta
saya bisa merasakan segala sesuatunya asli, walaupun di kala pagi dan malam
yang tak asli.
Terus terang, saya tidak pernah dapat memastikan apakah
pertanyaan-pertanyaan itu asli. Kadang saya merasa pertanyaan-pertanyaan itu
tidak datang dari orang-orang, melainkan datang dari diri saya sendiri. Sehingga
saya pun tak dapat memastikan apakah jawaban saya asli. Karena tidak mungkin
sesuatu yang asli lahir dari yang tak asli.
Namun lagi-lagi perasaan ini terasa asli. Walaupun kami hanya
bertemu kala siang, atau kala pagi dan malam yang tak asli. Kalimat di bungkus
kondom “ASLI, SERATUS PERSEN ANTI BOCOR” yang kami robek sebelum bercinta pun
asli. Hangat kulitnya yang tak berjarak. Gerakan tubuhnya yang sebentar menarik
sebentar menghentak. Bunyi ranjang berderak. Jantung keras berdetak. Suara yang
semakin lama semakin serak, adalah asli. Membuat saya selalu merasa tak pernah
cukup dan ingin mengulanginya kembali.
Saya tahu, saya akan bisa mengulanginya lagi. Tapi dengan satu
konsekuensi. Harus mengerti statusnya sebagai laki-laki beristri. Bertemu kala
siang, bukan kala pagi atau malam hari. Kala siang dengan durasi waktu yang
amat sempit. Bukan kala pagi atau malam hari yang terasa amat panjang dalam
penantian dan rindu yang mengimpit. Membuat saya kerap merasa terjepit. Antara
lelah dan lelah. Antara pasrah dan pasrah. Saya terjebak dan berputar-putar
pada dua pilihan yang sama. Saya jatuh cinta.
Andai saja saya
bisa mendepak cinta dan menghadirkan logika, mungkin tak akan seperti ini saya
tak berdaya. Mungkin suara-suara yang kerap menghantui dengan pertanyaan dan
jawaban akan lain bunyinya. Mungkin malam akan membuat saya takut. Dan dengan
tubuh lain ke dalam selimut saya akan beringsut. Juga tak akan ada siang di
mana saya meradang dan menggelepar atas tubuh yang menyentuh di atas seprai
kusut lantas terhenti oleh
dering panggilan ponsel yang membuat satu-satunya fungsi pada
tubuhnya yang mempersatukan tubuh kami jadi menciut.
Mungkin…
Mungkin satu saat nanti ia akan mengalami gerhana mata seperti
saya. Dan kami bisa tinggal dalam satu dunia yang sama. Tak bertemu hanya kala
siang. Tak menunggu kala pagi dan malam. Tak ada pertanyaan mengapa hanya
bertemu kala siang. Bukan kala pagi atau malam. Tak ada jawaban karena cinta
membutakan saya. Diganti dengan jawaban, karena cinta telah membutakan kami
berdua.
Mungkin…
Enam tahun sudah waktu bergulir. Sejak kemarin, di jari manis
kanan saya telah melingkar cincin dengan namanya terukir. Dalam kegelapan malam
kedua mata ini menumpahkan air. Di atas pembaringan tanpa suami yang tetap tak
akan hadir.
Cerpen ini di disusun oleh :
Jenar Mahesa Ayu
Dibuat :
Jakarta, 2 Oktober 2006 11:06 AM
Sumber :
Kompas
0 komentar:
Posting Komentar